Kontroversial HRS dalam Perspektif Dialektika Positivisme Hukum

· | JOE HOO GI | 23/11/2020
Kontroversial HRS Dalam Perspektif Dialektika Positivisme HukumDalam logika konsep Negara Hukum, The Rule of Law tidak mengenal adanya istilah kriminalisasi ulama, melainkan hanya mengenal equality before the law sebagai supremacy of law

JOEHOOGI.COM - Dari awal sebelum kepergian ke Mekkah, Arab Saudi selama tiga tahun sampai di dalam pengasingannya hingga kepulangannya sampai hari ini betapa sosok Habib Rizieq Shihab (HRS) adalah sosok kontroversial dalam perspektif dialektika positivisme hukum di Indonesia.

Meskipun sosok kontroversialnya hanya sebatas kepada pernyataan an-sich, tapi dari pernyataannya banyak kandungan ujaran kebencian, penghinaan, cacian dan makian yang ditujukan kepada nama lembaga negara tertentu, nama tokoh dari organisasi tertentu, nama etnis tertentu dan nama agama tertentu, sehingga membawa konsekuensi pihak-pihak yang tersinggung yang berimplikasi kepada positivisme hukum sebagai opsi untuk penyelesaiannya.

Dalam dialektika positivisme hukum pidana di Indonesia pernyataan berupa lisan pun bisa berimplikasi kepada tindakan pidana. Meskipun kebebasan berpendapat dilindungi oleh Pasal 28 UUD 1945, tetapi persyaratannya tetap diatur dalam perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kebebasan Berpendapat di Muka Umum dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Traksaksi Elektronik (ITE).

Hak kebebasan berpendapat bukan berarti bebas nilai dan bebas norma dalam berpendapat. Sesuai Pasal 6 UU No.9/1998 dijelaskan bahwa hak kebebasan berpendapat harus menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti menjaga dan menghormati keamanan, ketenteraman, ketertiban umum dan keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.

Dalam penjelasannya, menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum adalah tindakan yang dapat mencegah timbulnya bahaya bagi ketenteraman dan keselamatan umum, baik yang menyangkut orang, barang dan kesehatan. Sedangkan yang dimaksud dengan menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa di sini adalah tindakan  yang dapat mencegah timbulnya permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suku, agama, ras dan antar golongan dalam masyarakat.

Demikian juga dengan ketentuan yang tercantum pada Pasal 28 ayat (2) UU ITE, "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).

Kegaduhan yang selama ini terjadi pada kehadiran sosok HRS betapa pada setiap pernyataan HRS ke ranah publik selalu saja bertabrakan dengan dialektika positivisme hukum di Indonesia. Kalau saja dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yang heterogen multikultural, dari awal sampai sekarang HRS mau mengindahkan Pasal 6 UU No.9/1998 dan Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 ayat (2) UU ITE dalam setiap pernyataannya, maka tentunya sampai hari ini kehadirannya dapat diterima oleh semua pihak yang berseberangan tanpa terkecuali.

Tampaknya tidak hanya di era kepemimpinan Presiden Jokowi, sosok HRS bertabrakan dengan dialektika hukum positivisme di Indonesia. Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebanyak dua kali sosok MRS harus menjadi pesakitan di kursi terdakwa dan harus mendekam di penjara. 

Meskipun di era Presiden Jokowi, banyak kasus delik aduan yang diterima oleh HRS, tapi ironisnya selama kepemimpinan Jokowi hingga sampai artikel ini saya tulis, HRS belum pernah disidik dan duduk di kursi pesakitan sebagai terdakwa. 

Patut untuk menjadi pertanyaan mengapa MRS yang kebak oleh kasus delik aduan pada era kepemimpinan Presiden Jokowi tapi sampai kini belum juga MRS diproses di kursi pesakitan sebagai terdakwa? 

Apakah faktor MRS yang telah mengasingkan diri selama tiga tahun di Mekkah, Arab Saudi yang menjadi penyebab beberapa perkara delik aduan yang dipersangkakan kepadanya tidak dapat diproses?

Menurut catatan saya, ada sembilan kasus delik aduan yang diperkarakan kepada MRS sebagai terlapor, saksi dan tersangka, belum termasuk kasus yang sudah mendapat Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), yang sampai sekarang belum dapat diproses akibat MRS buru-buru melakukan pengasingan diri ke Mekkah, Arab Saudi selama tiga tahun.

Pertama, 19 Januari 2016, delik aduan oleh pelapor dengan inisial E kepada terlapor MRS atas penguasaan tanah seluas 8,4 hektare secara tidak sah di daerah Megamendung, Cisarua, Bogor atau dengan kata lain MRS tidak memiliki dokumen yang sah atas terkait kepemilikan tanah tersebut.

Kedua, 27 Desember 2016, delik aduan oleh Doddy Abdallah, Direktur Eksekutif Student Peace Institute kepada ujaran kebencian MRS di dalam video ceramahnya yang diunggah di Youtube yang dinilai dapat memecah belah kerukunan beragama di Indonesia karena menistakan ajaran salah satu Agama yang berlaku di Indonesia.

Ketiga, 9 Januari 2017, delik aduan oleh Jaringan Intelektual Muda Anti Fitnah dan Solidaritas Merah Putih kepada ujaran penghasutan MRS di dalam video ceramahnya yang diunggah di Youtube mengenai tuduhan MRS perihal adanya gambar logo Palu Arit dalam pecahan uang rupiah yang baru dikeluarkan oleh Bank Indonesia.

Keempat, 16 Januari 2017, delik aduan oleh Khoe Yanti Kusmiran kepada ujaran kebencian MRS dalam video ceramahnya yang diunggah di Youtube yang telahmenistakan ajaran Agama Nasrani dengan menyebutkan kalau Tuhan Yesus itu lahir 25 Desember maka bidannya siapa.

Kelima, 26 Januari 2017, delik aduan oleh Pendeta Max Evert Ibrahim Tangkudu terhadap ujaran kebencian MRS di dalam video ceramahnya yang diunggah di Youtube yang dinilai telah mengancam akan membunuh para pendeta Kristen di Indonesia.

Keenam,  27 Januari 2017, delik aduan oleh Ketua Dewan Karatuan Majelis Adat Sunda, Ari Mulila Subagja terhadap ujaran kebencian MRS dalam video ceramahnya yang diunggah di Youtube yang telah melecehkan budaya Sunda Wiwitan dengan memplesetkan salam khas warga Sunda sampurasun dengan campur racun.

Memang tidak dapat dipungkiri betapa semua kasus delik aduan tersebut di atas yang menimpa MRS sebagai terlapor, saksi dan tersangka tidak dapat ditindaklanjuti oleh penyidik Polri karena MRS pada 26 April 2017 telah keburu meninggalkan tanah air berada di Mekkah, Arab Saudi. 

Tapi sekarang setelah tiga tahun berada dalam pengasingan di Arab Saudi, MRS sudah tiba kembali ke tanah air dan sudah tinggal di tempat tinggalnya di jalan Petamburan III Nomor 17 Tanah Abang, Jakarta Pusat. Lantas apakah semua kasus delik aduan yang menimpa MRS sebagai terlapor, saksi dan tersangka akan tetap kembali untuk ditindaklunjuti oleh penyidik Polri?

Setelah kembalinya MRS ke tanah air, tampaknya sosok MRS tidak berubah dan tetap konsisten sebagai figur kontroversial yang selalu membawa keruwetan pada dialektika positivisme hukum di Indonesia. 

Ketika Indonesia menerapkan protokol kesehatan untuk menekan laju penularan dari bahaya pandemi Covid-19, tapi MRS dan pengerahan massa sebanyak-banyaknya oleh para pendukungnya justru tidak memberikan atensi suri tauladan perihal tentang bahayanya Covid-19 yang ditularkan. 

Indonesia sebagai Negara Hukum tentunya berlaku kredo atau adagium yang pertamakali diucapkan oleh Lucius Piso Caesoninus. Fiat justitia ruat caelum. Tegakkan hukum walaupun langit akan runtuh. Dalam kondisi yang dimungkinkan melibatkan pengerahan miliaran massa yang melawan hukum sekalipun dan bahkan dimungkinkan dapat meluluhlantakkan suatu negara, maka dalam situasi apapun dan bagaimanapun hukum harus tetap berdiri tegak tanpa harus tergoyahkan. 

Dalam logika konsep Negara Hukum, The Rule of Law tidak mengenal adanya istilah kriminalisasi ulama, melainkan hanya mengenal equality before the law sebagai supremacy of law.

Siapa saja oknum orangnya, mau artis kah, aktivis parpol kah, ulama kah, dosen kah, pengusaha kah dan lain sebagainya yang kebetulan melakukan tindakan pidana terhadap positivisme hukum yang berlaku di Indonesia, maka Negara wajib menindaklanjuti sebagai proses penegakan hukum. 

Akhirulkalam, saya akan menutup tulisan ini dengan mengutip pesan yang disampaikan oleh Kiai muda pimpinan Pondok Pesantren Ora Aji di Sleman, Yogyakarta, Miftah Maulana Habiburrahman yang akrab dengan sebutan Gus Miftah, "Mana ada kriminalisasi ulama? Kalau Anda kebetulan seorang ulama yang melakukan tindakan kriminal lantas kemudian ditangkap oleh polisi, maka tindakan penangkapan ini bukankah mengkriminalisasikan ulama melainkan proses hukum kepada ulama yang melakukan tindakan kriminal." Wallahu a'lam bish-shawabi.Follow JOE HOO GI








Baca Lainnya

    Artikel Terkait