Sebilah Pisau Bernama Ormas FPI

· | JOE HOO GI | 31/12/2020
Sebilah Pisau Bernama Ormas FPISejak eksistensi FPI eksis melakukan aksi-aksi protesnya tidak pernah mempedulikan HAM dan memperhatikan etika berdemokrasi sebab sudah terlalu banyak jejak rekam dari aksi-aksi FPI yang telah secara gamblang tanpa ditutup-tupi melakukan serangkaian aksi intoleransi terhadap hak-hak kaum minoritas di negeri ini. Ironisnya

JOEHOOGI.COM - Empat bulan setelah Presiden Suharto mengakhiri kekuasaan Orde Baru, ketika euforia Reformasi bergema di segala sudut penjuru di Tanah Air, berdirilah organisasi kemasyarakatan Front Pembela Islam (FPI) yang dideklarasikan oleh Habib Rizieq Shihab (HRS) pada tanggal 17 Agustus 1998.

 Meskipun jejak rekam FPI dalam melakukan aksi-aksi protesnya selalu membawa radikalism politik identitas dari ideologi khilafah Islamiyahnya yang menganggap golongannya yang paling benar sendiri di antara golongan lainnya dan selalu mewarnai aksi-aksi intoleransinya dengan pola-pola anarkism seperti menghujat, mencaci-maki, persekusi dan sweeping tapi realitas yang terjadi selama 22 tahun Negara yang menjunjung tinggi empat pilar kebangsaan tampaknya hanya dapat melakukan pembiaran.

Entah apa yang menjadi pertimbangan Negara sehingga melakukan pembiaran kepada FPI selama 22 tahun. Kalau pertimbangan Pemerintah melakukan pembiaran kepada FPI karena Pemerintah masih memperhatikan kebebasan berdemokrasi dan semangat menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) kepada warga negaranya, maka pertimbangan Pemerintah ini saya anggap terlalu mengada-ngada. Sebab sepak terjang FPI dalam setiap aksi protesnya selama 22 tahun yang terjadi justru tindakan yang anti demokrasi dan HAM.

Sejak eksistensi FPI eksis melakukan aksi-aksi protesnya tidak pernah mempedulikan HAM dan memperhatikan etika berdemokrasi sebab sudah terlalu banyak jejak rekam dari aksi-aksi FPI yang telah secara gamblang tanpa ditutup-tupi melakukan serangkaian aksi intoleransi terhadap hak-hak kaum minoritas di negeri ini. Ironisnya, Pemerintah tampaknya seperti tidak berdaya, terasa lemah dan Hukum Negara pun tidak dapat memberikan efek jera kepada setiap aksi brutal FPI. 

Ketika Hizbut Tahir Indonesia (HTI) sebagai ormas dibubarkan lewat Perppu Nomor 2 Tahun 2017, saya menjadi bertanya mengapa hanya HTI saja yang dibubarkan? Mengapa FPI tidak sekalian dibubarkan? Kalau alasannya karena visi dan misi HTI mengusung ideologi khilafah Islamiyah, bukankah visi dan misi FPI dalam AD/ART nya juga mau menerapkan Islam secara kafah di bawah naungan khilafah Islamiyah?

Bahkan menurut saya jika kita melihat dari jejak rekam pada setiap aksi protes yang dilakukan oleh kedua ormas HTI dan FPI ada perbedaan yang sangat krusial, meskipun kedua ormas tersebut sama-sama berjuang menerapkan Islam secara kafah di bawah naungan khilafah Islamiyah. 

HTI dalam setiap aksi protesnya dari awal berdirinya hingga sampai menjelang dibubarkannya selalu memperhatikan ketertiban umum dan berjalan sesuai koridor hukum perundang-undangan yang berlaku. Berbeda dengan FPI dalam setiap aksi protesnya selalu memaksakan kehendak dan selalu mewarnai aksi-aksi intoleransinya dengan pola-pola kekerasan seperti menghujat, mencaci-maki, persekusi dan sweeping.

Kini setelah kegaduhan demi kegaduhan dipertontonkan oleh FPI dan beragam kasus hukum yang menjerat HRS pasca kembalinya HRS dari Mekkah Arab Saudi ke Indonesia, Pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangani enam pejabat tinggi Lembaga Negara (Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, Kapolri dan Kepala BNPT) pada akhirnya memutuskan untuk membubarkan FPI dan menempatkan FPI sebagai organisasi terlarang.

Sejak awal saya tidak setuju dengan pembubaran ormas sebab akar kegaduhannya bukan terletak pada ormasnya melainkan para elitenya yang mengendalikan ormas tersebutlah letak dari biang akar kerok persoalan kegaduhannya.

Membubarkan FPI tapi membiarkan para elitenya yang sudah terpapar radikalism politik identitas dari ideologi khilafah Islamiyah tetap bebas eksis, maka sama saja upaya Negara melakukan deradikalisasi terhadap ormas FPI akan mengalami sia-sia. Sebab kesalahan bukan pada nama ormasnya, melainkan para elitenya yang duduk dan mengendalikan ormas FPI lah letak dari biang akar kerok permasalahannya.

Kalau saja ormas bernama FPI para elitenya diisi oleh para ulama ahli sunnah wal jamaah yang sudah teruji kesetiaannya kepada empat pilar kebangsaan dan bernegara: Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, maka keberadaan ormas bernama FPI bukanlah suatu ancaman lagi terhadap empat pilar kebangsaan dan bernegara.

Ormas tidak ubahnya sama dengan sebilah pisau. Bila sebilah pisau dalam kendali genggaman seorang yang gemar menyelesaikan persoalan dengan kekerasan, maka boleh jadi sebilah pisau tersebut akan menjadi ancaman untuk melukai dan membunuh. Sebaliknya bila sebilah pisau itu dalam kendali genggaman seorang yang anti kekerasan, maka sebilah pisau tersebut tidak akan pernah menjadi ancaman untuk melukai atau membunuh.

Tegasnya kalau Negara mau menghukum ormas yang telah terbukti terpapar radikalism politik identitas dari ideologi khilafah Islamiyah, maka bukan ormasnya yang dilarang atau dibubarkan melainkan para elitenya yang sudah terpapar politik identitas dari ideologi khilafah Islamiyah itulah yang harus dihukum. 

Sebab kalau hanya ormasnya yang dilarang atau dibubarkan tapi membiarkan ideologi khilafah Islamiyah dan para elitnya tetap bebas eksis, maka dijamin dalam waktu dekat para elitenya akan mendirikan ormas kembali dengan nama ormas yang lain. 

Membubarkan FPI dengan membiarkan ideologi khilafah Islamiyah dan para elitenya bebas eksis, maka analoginya sama saja seperti memangkas rumput ilalang di tanah lapang tapi membiarkan akar-akar rumput tetap tertinggal di dalam tanah lapang.

Dalam tulisan ini saya tidak terjebak membahas perihal pelanggaran HAM kematian enam anggota laskar FPI yang ditembak mati oleh polisi di jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 10 sebab dari jejak rekam digitalnya telah membuktikan kepada kita betapa FPI dari awal sampai sebelum dibubarkannya telah menolak konsep HAM yang dianggapnya sebagai paham liberal, sekular dan thogut. 

Serangkaian aksi intoleransi yang berujung kekerasan yang dilakukan oleh massa FPI terhadap hak-hak kaum minoritas seperti Syiah, Ahmadiyah, agama-agama lokal, Nasrani, Hindu dan berbagai kepercayaan minoritas lainnya telah membuktikan kepada kita betapa FPI tidak pernah memberikan penghormatan yang mendalam terhadap kelangsungan kehidupan HAM di Indonesia. 

Saya menjadi geli tiada habis pikir kepada sikap ganda KontraS dan YLBHI yang dulu getol di garda depan melakukan perlawanan kepada FPI sebagai ormas yang pada setiap aksi-aksinya selal;u bertentangan dengan prinsip Negara Hukum.. Bahkan menuntut kepada Negara agar ormas FPI dibubarkan. Tapi setelah berselangnya waktu, ketika Negara tampil memenuhi harapan masyarakat untuk membubarkan ormas FPI, mendadak  KontraS dan YLBHI malah menentang kebijakan Negara dan membela FPI.

Konklusinya, kalau substansial dari peristiwa pembubaran FPI diibaratkan seperti menghakimi sebilah pisau yang dijadikan biang kerok permasalahan terjadinya kekerasan dan bukan kepada pelaku yang mengendalikan sebilah pisau untuk melakukan kekerasan, maka analogi ini sama saja Negara telah gagal melakukan upaya deradikalisasi pada ormas FPI. Wallahu a'lam bish-shawabi.Follow JOE HOO GI








Baca Lainnya

    Artikel Terkait