Tingginya Krisis Kepercayaan Masyarakat Terhadap Virus Corona

· | JOE HOO GI | 04/10/2020
Tingginya Krisis Kepercayaan Masyarakat Terhadap Virus CoronaKeresahan masyarakat ini dirasakan betul oleh Jenderal TNI AD (Purn.) Moeldoko, Kepala Kantor Staf Kepresidenan, dan Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah meminta kepada pihak Rumah Sakit untuk bersikap jujur dan transparan mengenai data kematian pasien virus Corona

JOEHOOGI.COM - Tidak usainya penanganan wabah pandemi virus Corona di Tanah Air yang sudah berjalan selama 7 bulan lebih terhitung sejak bulan Maret 2020, belum lagi ditambah corat-marutnya sistem penanganan Negara terhadap wabah pandemi virus Corona , telah membuat sebagian rakyat Indonesia sudah tidak peduli dan bahkan sudah mengalami krisis kepercayaan terhadap- keberadaan virus Corona.

Berbeda ketika awal mulai merebaknya wabah pandemi virus Corona yang dimulai dari bulan Maret sampai Juli, tampaknya sebagian besar masyarakat Indonesia masih mau peduli dan percaya terhadap bahayanya wabah pandemi virus Corona. Tapi ketika wabah pandemi virus Corona mulai merangkak ke bulan Agustus hingga sampai sekarang, lambat laun kepercayan sebagian besar masyarakat Indonesia mulai tergerus hingga sampai tidak mempercayai lagi kalau keberadaan virus Corona benar-benar nyata adanya.

Beberapa kali saya sudah menemui berbagai komponen masyarakat di berbagai daerah untuk menanyakan perihal virus Corona ini, jawaban mereka ternyata seragam betapa masyarakat ternyata sudah tidak mempercayai dan tidak mau peduli lagi terhadap keberadaan virus Corona. Kalau pun mereka memakai masker karena faktor kewajiban dari protokol kesehatan yang sudah diterapkan. Kalau misalnya protokol kesehatan yang diterapkan ini tidak diwajibkan atau yang melanggar tidak dikenakan sanksi maka masyarakat lebih memilih untuk tidak memakai masker.

Kondisi ketidakpercayaan masyarakat terhadap keberadaan virus Corona diakui sendiri oleh Doni Monardo, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam Rapat Kerja dengan Komisi VIII DPR, 3 September 2020. Pendapat serupa juga dirasakan oleh Prof. Paulus Wirutomo Paulus, Sosiolog dari Universitas Indonesia. Bahkan survei Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sebanyak 45 juta masyarakat Indonesia tidak mempercayai Corona.

Dalam kesempatan ini saya mencoba mencatat dari beberapa alasan krusial yang menjadi akar penyebab mengapa masyarakat tidak lagi menaruh kepedulian dan tidak mempercayai keberadaan virus Corona. Beberapa alasan krusial ini memang beragam tapi tetap berujung pada kesimpulan yang sama bahwa telah terjadi krisis kepercayaan dari masyarakat kepada keberadaan virus Corona.

Alasan Krusial Pertama

Selama ini yang terjadi di setiap rumah sakit telah dirasakan oleh sebagian besar masyarakat sendiri, setiap penyakit yang diderita oleh pasien selalu saja vonisnya menyasar pada virus Corona. 

Banyak pasien menderita penyakit yang bukan disebabkan virus Corona tapi oleh pihak Rumah Sakit selalu saja dengan mudahnya divonis sebagai penderita virus Corona. 

Stigmatisasi ini telah membuat masyarakat menjadi apatis sesungguhnya mana wujud hakiki dari penyakit virus Corona, jika semua nama penyakit yang diderita selalu saja diklaim sebagai virus Corona? 

Padahal yang namanya penyakit itu pasti akan membawa efek gejala dari penyakit yang dideritanya. Misal penyakit cacar, pes, kolera, malaria, demam berdarah, thipus, tbc, stroke, asma dan lain-lain pasti membawa efek gejala yang ditimbulkan dari penyakit tersebut. Berbeda dengan virus Corona yang tidak memiliki efek gejala yang ditimbulkan kecuali hanya stigmatisasi.

Apa lagi dalam updatenya ditemukan penderita virus Corona bisa didapatkan kepada orang tanpa gejala. Ini artinya orang sehat pun bisa distigmatisasi sebagai penderita virus Corona. 

Kalau memang ditemukan kasus virus Corona yang tidak membawa efek gejala penyakit yang dirasakan, lantas apa yang perlu ditakutkan dari virus Corona?

Alasan Krusial Kedua

Mencla-menclenya setiap kali mengeluarkan statement dalam penanganan virus Corona oleh para pihak yang diberi tugas dalam penanganan virus Corona ini telah membuat masyarakat semakin bingung mana pendapat yang harus dipercaya jika pada setiap waktu dalam satu mulut yang sama selalu memberikan statement berbeda-beda dan saling kontradiksi.

Tidak konsistennya setiap kali mengeluarkan statement oleh para pihak yang diberi tugas dalam penanganan virus Corona ini sudah dirasakan masyarakat sejak bulan Maret 2020 ketika virus Corona mulai merebak di Indonesia. 

Statement awalnya masyarakat yang sehat dihimbau untuk tidak memakai masker dan hanya orang sakit dan para medis diwajibkan memakai masker. Tapi berkembangnya waktu staterment berubah kembali, masyarakat diwajibkan menggunakan masker tanpa ada yang dikecualikan.

Sejak awal masyarakat diberi penyuluhan agar masyarakat tidak perlu panik dalam menghadapi jasad korban penderita virus Corona sebab sifat dasar dari virus tidak bisa menumpang hidup pada makhluk hidup yang sudah meninggal dunia. Realitasnya masyarakat selalu dipertontonkan suguhan kejadian yang sebaliknya di mana protokol kesehatan diterapkan kepada jasad penderita virus Corona yang harus dibungkus plastik rapat-rapat dan kemudian ditaruh di dalam peti yang tertutup rapat tanpa ada kebocoran.

Sejak awal masyarakat diberi pemahaman dari gejala penyakit yang ditularkan virus Corona antara lain dari mulai gejala ringan seperti demam, pilek,batuk dan sakit kepala sampai gejala serius seperti sesak napas dan rasa tertekan pada dada. Tapi perkembangannya gejala ini mengalami inkonsistensi, banyak penderita yang terpapar virus Corona tanpa mengalami gejala apapun alias sehat.

Alasan Krusial Ketiga

Sudah dirasakan oleh sebagian besar dari masyarakat betapa sejak merebaknya virus Corona di Indonesia ternyata tidak sedikit dari pihak Rumah Sakit menjadikan lahan bisnis untuk meng-covid-kan pasien yang meninggal dunia yang notabene bukan pasien virus Corona agar mendapatkan keuntungan anggaran berlipat dari Pemerintah.

Banyak kasus terjadi pasien yang meninggal dunia di rumah sakit sudah distigmatisasi sebagai pasien virus Corona dan pemakaman pun dilakukan protokol kesehatan. Tapi ketika hasil swap test keluar ternyata pasien yang meninggal dunia tersebut bukan penderita virus Corona. Keadaan ini sangat membuat keresahan di semua elemen masyarakat khususnya masyarakat yang merasa kenal dan dekat dengan korban.

Keresahan masyarakat ini dirasakan betul oleh Jenderal TNI AD (Purn.) Moeldoko, Kepala Kantor Staf Kepresidenan, dan Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah meminta kepada pihak Rumah Sakit untuk bersikap jujur dan transparan mengenai data kematian pasien virus Corona.

Jangan sampai tingginya angka kematian pasien virus Corona akibat dari data yang direkayasa sedemikian rupa oleh pihak oknum Rumah Sakit.

Jangan salahkan masyarakat jika keadaan yang corat-marut memprihatinkan ini menjadi pintu masuk krisis kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan virus Corona. Jangan salahkan masyarakat jika mulai berani berasumsi liar betapa tingginya angka kematian pasien yang terpapar virus Corona adalah akal-akalan dari pihak Rumah Sakit yang telah merekayasa data kematian pasien agar anggaran dari Pemerintah bisa turun.

Kesimpulan

Tiga alasan krusial yang terurai di atas yang menjadi akar dari penyebab tumbuhnya krisis kepercayaan masyarakat yang signifikan terhadap keberadaan virus Corona. Dibutuhkan kerja keras dari Pemerintah untuk mengintropeksi sebagai koreksi dari dalam perihal tingginya krisis kepercayaan masyarakat terhadap virus Corona. 

Sudah saatnya pemerintah harus cerdas ketika menerima laporan tingginya angka pasien yang terpapar virus Corona apakah sudah bersandarkan pada data yang valid ataukah sebaliknya bersumber pada data sepihak dari manuver akal-akalan Rumah Sakit yang sengaja mencari keuntungan besar melalui cara  meng-covid-kan pasien yang meninggal dunia yang belum tentu terpapar virus Corona. Wallahu A'lam Bishawab.Follow JOE HOO GI








Baca Lainnya

    Artikel Terkait