
Perihal LGBT (Lesbian-Gay-Biseksual-Transgender) yang akhir-akhir ini mulai memanas kembali, saya sudah kupas-tuntas secara detail pada tulisan saya. Tulisan saya yang pertama yang saya posting pada tanggal 18 Februari 2016 berjudul Solusi Agar LGBT Bisa Diterima Oleh Semua Pihak (Studi Kasus Dorce Gamalama). Tulisan saya yang kedua yang saya posting tanggal 27 Februari 2016 berjudul Syaiful Jamil, LGBT dan Kambing Hitam.
Saya tak perlu membahas panjang lebar perihal fenomenal LGBT yang kini Rancangan Undang-Undangnya lagi diperdebatkan secara alot oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari berbagai fraksi. Ada dua kubu pemahaman yang berbeda dalam memahami sosok LGBT. Pemahaman yang pertama menganggap bahwa keberadaan LGBT wajib ditolak sebab merupakan perilaku seksual yang menyimpang, dan LGBT tidak ada kaitan dengan orientasi libido seksual. Kubu dari pemahaman pertama memberikan konsekuensi hukum kepada perilaku LGBT yang bisa dipidanakan.
Sedangkan untuk pemahaman yang kedua menganggap bahwa kehadiran LGBT bukan sebagai perilaku penyimpangan seksual, melainkan tumbuh dari orientasi libido seksualnya yang berbeda dengan lahiriah kelaminnya. Libido ini bukan perilaku seksual, melainkan orientasi seksual. Misal dalam kasus yang normal, seorang berkelamin pria dan wanita heteroseks memiliki libido yang punya daya ketertarikan dengan kelamin yang berbeda jenis. Tapi bagi pria atau wanita LGBT justru libidonya memiliki daya ketertarikan dengan kelamin yang sejenis.
Konklusinya, LGBT bukan perilaku seksual sehingga resikonya tentunya bisa disembuhkan melalui tekhnologi kedokteran atau dijerakan melalui hukuman pidana, sebaliknya LGBT tumbuh secara genetikal dari orientasi libido seksualnya. Tak ada tekhnologi kedokteran pun sampai kini yang dapat mengubah orientasi libido seksual manusia.
Setiap manusia yang lahir secara LGBT dan Heteroseks pasti memiliki kodrati yang disebut sebagai orientasi libido seksual. Kebetulan pria atau wanita heteroseks antara lahiriah kelamin dan libidonya justru sesuai dengan orientasi seksualnya yang memiliki daya ketertarikan dengan kelamin yang berbeda jenis. Sebaliknya pria atau wanita LGBT antara lahiriah kelamin dan libidonya justru tidak sesuai dengan orientasi libido seksualnya yang memiliki daya ketertarikan dengan kelamin yang sejenis. Kondisi ini bukan terjadi sekarang tapi sudah terjadi berabad-abad lamanya, sebelum turunnya Nabi-Nabi di dunia. Anehnya mengapa harus diributkan sekarang?
Ada persepsi salah yang menganggap LGBT sebagai perilaku sehingga dimungkinkan dapat menular. Padahal LGBT bukan perilaku melainkan orientasi seksual yang tumbuh dari genetikal libido. Oleh karena itu, LGBT dipastikan tidak akan menular selama yang mendekati adalah tidak memiliki orientasi seksual yang sama. Misal seorang wanita heteroseks, meski dia berinteraksi sosial dengan wanita-wanita lesbian maka sangat dapat dipastikan dia tidak akan menjadi wanita lesbian, sedemikian juga sebaliknya. Sedemikian juga seorang pria heteroseks, meski dia berinteraksi sosial dengan pria-pria gay maka sangat dapat dipastikan dia tidak akan menjadi pria gay, sedemikian juga sebaliknya.
Menggugat LGBT sama saja menggugat Takdir Tuhan yang notabene telah menciptakan manusia yang tak terlepas dari kelibidoannya. Pria gay dan wanita lesbian tak pernah ada keinginan lahir sebagai LGBT, sedemikian pula pria dan wanita heteroseks tak pernah ada keinginan lahir sebagai heteroseks. Saya sendiri tak pernah tahu mengapa saya lahir sebagai pria heteroseks. Tapi saya pun tidak bisa menolak jika misalnya saya ditakdirkan oleh Tuhan sebagai pria gay. Apakah kemudian takdir dari genetikal libido saya sebagai pria gay lantas harus dikucilkan, disingkirkan dan dihukum pidana?
Konklusinya, LGBT bukan perilaku seksual sehingga resikonya tentunya bisa disembuhkan melalui tekhnologi kedokteran atau dijerakan melalui hukuman pidana, sebaliknya LGBT tumbuh secara genetikal dari orientasi libido seksualnya. Tak ada tekhnologi kedokteran pun sampai kini yang dapat mengubah orientasi libido seksual manusia.
Setiap manusia yang lahir secara LGBT dan Heteroseks pasti memiliki kodrati yang disebut sebagai orientasi libido seksual. Kebetulan pria atau wanita heteroseks antara lahiriah kelamin dan libidonya justru sesuai dengan orientasi seksualnya yang memiliki daya ketertarikan dengan kelamin yang berbeda jenis. Sebaliknya pria atau wanita LGBT antara lahiriah kelamin dan libidonya justru tidak sesuai dengan orientasi libido seksualnya yang memiliki daya ketertarikan dengan kelamin yang sejenis. Kondisi ini bukan terjadi sekarang tapi sudah terjadi berabad-abad lamanya, sebelum turunnya Nabi-Nabi di dunia. Anehnya mengapa harus diributkan sekarang?
Ada persepsi salah yang menganggap LGBT sebagai perilaku sehingga dimungkinkan dapat menular. Padahal LGBT bukan perilaku melainkan orientasi seksual yang tumbuh dari genetikal libido. Oleh karena itu, LGBT dipastikan tidak akan menular selama yang mendekati adalah tidak memiliki orientasi seksual yang sama. Misal seorang wanita heteroseks, meski dia berinteraksi sosial dengan wanita-wanita lesbian maka sangat dapat dipastikan dia tidak akan menjadi wanita lesbian, sedemikian juga sebaliknya. Sedemikian juga seorang pria heteroseks, meski dia berinteraksi sosial dengan pria-pria gay maka sangat dapat dipastikan dia tidak akan menjadi pria gay, sedemikian juga sebaliknya.
Menggugat LGBT sama saja menggugat Takdir Tuhan yang notabene telah menciptakan manusia yang tak terlepas dari kelibidoannya. Pria gay dan wanita lesbian tak pernah ada keinginan lahir sebagai LGBT, sedemikian pula pria dan wanita heteroseks tak pernah ada keinginan lahir sebagai heteroseks. Saya sendiri tak pernah tahu mengapa saya lahir sebagai pria heteroseks. Tapi saya pun tidak bisa menolak jika misalnya saya ditakdirkan oleh Tuhan sebagai pria gay. Apakah kemudian takdir dari genetikal libido saya sebagai pria gay lantas harus dikucilkan, disingkirkan dan dihukum pidana?
Tak ada manusa di dunia ini, siapa saja manusianya tanpa terkecuali tidak berharap dilahirkan sebagai LGBT, sebagaimana saya pun tidak berharap lahir sebagai laki-laki. Sedemikian pula dengan anda juga tidak berharap lahir sebagai perempuan. Semuanya kembali kepada Takdir. Kalau lahir sebagai laki-laki tentunya berharap libidonya laki-laki. Kalau lahir sebagai perempuan tentunya berharap libidonya perempuan. Lantas bagaimana jika lahir sebagai laki-laki tapi libidonya perempuan atau lahir sebagai perempuan tapi libidonya laki-laki?
Betapa kebudayaan manusia dikuasai oleh stereotip standar libido sesuai dengan jenis kelamin yang disandangnya. Jika dia lahir sebagai laki-laki, maka libidonya tentunya laki-laki. Jika dia lahir sebagai perempuan, maka libidonya tentunya perempuan. Padahal lahiriah belum tentu libidonya sesuai dengan kelahiriahannya. Lahiriahnya sebagai perempuan belum tentu libidonya perempuan. Lahiriahnya sebagai laki-laki belum tentu libidonya laki-laki. Tidak ada tekhnologi kedokteran pun yang dapat mengubah libido.
Jika LGBT dihukum pidana, maka sama saja menghukum Takdir sebab Libido urusannya dengan Tuhan. Beruntunglah saya lahir sebagai laki-laki dengan libido sebagai laki-laki. Lantas bagaimana jika takdir berkehendak lain, lahir sebagai kelamin laki-laki tapi libidonya sebagai perempuan? Betapa LGBT bukan perilaku manusia. LGBT timbul dari orientasi libido manusia. Bercerminlah sebagai intropeksi diri, sekarang anda berlibido laki-laki yang tentunya anda tertarik dengan perempuan. Lantas dapatkah peran libido laki-laki diubah menjadi libido perempuan? Tentunya sampai kiamat pun tidak akan bisa. (Joe Hoo Gi)
JOE HOO GI

Melalui sajian kolom komentar di bawah sampaikan kepada kami komentar kritik, saran dan pertanyaan Anda yang berkaitan dengan artikel: Inferior LGBT Versus Superior Heteroseks
Peringatan Sebelum Berkomentar:
Komentar yang mengarah ketindakan spam atau tidak berkaitan dengan isi artikel tidak akan dipublikasikan.
EmoticonEmoticon