Mengenang Kembali Kawan-Kawanku di Ujung Paling Timur Indonesia

· | JOE HOO GI | 20/08/2019
Mengenang Kembali Kawan-Kawanku Di Ujung Paling Timur IndonesiaTernyata tidak hanya saya dari peranakan Tionghoa yang mendapat perlakuan diskriminasi rasial, para anak bangsa sendiri di ujung paling Timur Indonesia pun juga mendapatkan perlakuan rasial yang sama

JOEHOOGI.COM - Saya mencoba membuka buku catatan harian saya kembali. Ketika saya masih menimba ilmu sebagai mahasiswa in de kost di Jogjakarta, saya banyak bergaul dengan kawan-kawan lintas etnik, termasuk menjalin pertemanan dengan kawan-kawan yang berasal dari Papua (waktu itu penyebutan katanya bukan Papua, melainkan Irian). Tiada perbedaan jarak dalam sistem pertemanan kami kecuali hanya persamaan sebagai saudara dari anak-anak bangsa sendiri.

Masih terlintas di pikiran saya ketika saya masih melakoni sebagai aktivis mahasiswa. Sudah menjadi wabah kebiasaan setiap akhir bulan selalu dirundung kehabisan amunisi hidup berupa uang bulanan, sementara kiriman uang dari orangtua sering telat tersendat-sendat (maklum ketika Indonesia masih Orde Baru belum ada tekhnologi bernama ATM. 

Pengiriman dan penerimaan uang hanya melalui wesel pos dan harus antri berjam-jam di kantor pos), kalau sudah begini cara mengatasinya kami sering meminjam uang. Tapi bila sama-sama bokek terpaksa kami ambil gitar dan harmonika lantas ngamen bareng di lesehan Malioboro ketika malam semakin tenggelam.

Sebaliknya kalau kiriman uang dari orangtua datang kami biasa pesta kecil-kecilan, tentunya tidak lupa bayar hutang dulu. Traktir nonton bareng di bioskop dan main bola sodok tidak sembari mata kurang konsentrasi akibat lihat kecantikannya sang waitress kalau lagi asyik mencatat score di white board. Kadang kalau amunisi pas banyak ya borong buku-buku di pasar loak. Ketika tengah malam tidak pernah lupa sruput kopi di angkringan nasi kucing. 

Itulah kenanganku 30 tahun lalu ketika saya intens bergaul dengan kawan-kawan yang berasal dari ujung paling timur di Indonesia. Sungguh menyenangkan berteman dengan mereka sebab ada kesan cinta yang sulit saya lupakan begitu saja . 

Hanya saja kekurangan yang saya rasakan bergaul dengan kawan-kawan Papua tiada lain mereka sudah pernah singgah dikediaman saya, sementara saya baru sekali saja singgah dikediamannya yang berada di Nabire, sementara untuk kawan-kawan yang tinggal di Manokwari,Nabire dan Timika belum pernah saya singgahi. 
 
Semua kenangan yang sudah berlalu selama 30 tahun tetap saja membekas dalam ingatan saya. Beberapa oleh-oleh seperti tombak,panah,koteka dan masih banyak souvenir lainnya yang masih saya simpan sampai sekarang. 

Pernah kejadian 30 tahun lalu ketika saya diejek sebagai babi oleh para begundal rasis, spontan solidaritas kawan-kawan Papua sering membantu saya untuk mengusir dari terpaan ejekan para begundal rasis. 

Ketika saya bertanya mengapa Anda membela saya ketika saya diejek sebagai babi? Mereka pasti menjawab, "Betapa kita orang juga geram ketika kita orang diejek-ejek sebagai monyet."

Ternyata tidak hanya saya dari peranakan Tionghoa yang selalu mendapat perlakuan diskriminasi rasial di Indonesia, kawan-kawan saya dari anak bangsa sendiri di ujung paling Timur Indonesia pun juga acap mendapatkan perlakuan rasial dari sesama anak bangsa sendiri di luar Papua.

​Tidak sedikit peranakan Tionghoa dan Papua memberikan peranan sumbangsih semangat perjuangan Nasionalisme untuk membela tanah air Negara Kesatuan Republik Indonesia, tapi sejarah membuktikan berulang-ulang kali betapa perlakuan diskriminasi rasial tetap saja dirasakan oleh para anak bangsa sendiri dari peranakan Tionghoa dan Papua. 

Lie Yung Fong
wartawan koran Sin Po yang banyak menulis perlawanan rakyat Indonesia sebagai sikap penolakan diperintah Kolonial Belanda. 

John Lie yang berhasil menyelundupkan senjata untuk diberikan kepada para pejuang tanah air. 

Oei Hok San sang pejuang tentara pelajar di Kediri Jawa Timur yang gigih turut memerangi serdadu Kolonial. 

Oei Tjong Hauw salah satu anggota BPUPKI tahun 1945. 

Frans Kasiepo yang terlibat dalam Konfrensi Malino tahun 1946. 

Major TNI Johannes Abraham Dimara dalam perjuangannya mengembalikan wilayah Irian Barat ke tangan Republik Indonesia tahun 1950. 

Marthen Indey yang pernah dikirim ke New York untuk berunding dengan utusan Belanda tentang pengembalian Irian Barat ke dalam wilayah kesatuan Republik Indonesia tahun 1962. 

Silas Papare yang pernah mendirikan Badan Perjuangan Irian di Jogjakarta dalam rangka membantu pemerintah Republik untuk memasukkan wilayah Irian Barat ke wilayah Republik Indonesia tahun 1949.

Saya akan menutup tulisan ini dengan mengutip pesan dari Sri Sultan Hamengkubuwono X: "Tidak perlu menjadi orang Jawa untuk tinggal di Jogjakarta. Tetaplah menjadi orang Papua, Batak, Bali, Aceh dan sebagainya. Sruwung lan tulung tinulung yang harus selalu dijaga." 
 
Meski demikian masih  banyak kritik yang ingin saya sampaikan kepada kinerja Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam perihal kebijakan penganyoman kebangsaan di wilayah Jogjakarta yang ternyata masih jauh dari harapan. 
 
Belum dicabutnya regulasi hak pemilikan tanah yang melarang hak peranakan Tionghoa untuk memiliki tanah di Jogjakarta. Sikap diamnya Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam menghadapi  pencabutan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) oleh Pemda Bantul terhadap tempat peribadahan non muslim. 
 
Tidak berdayanya Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam menghadapi kasus Slamet Jurniarto yang ditolak sebagai warga di desa Pleret Kabupaten Bantul hanya gara-gara Slamet Jurniarto berstatus non muslim dan masih banyak kasus intoleransi lainnya yang menciderai rasa kebangsaan terjadi di wilayah Jogjakarta.
Follow JOE HOO GI








Baca Lainnya

    Artikel Terkait