Memahami Golput dalam Kehidupan Sehari-Hari

· | JOE HOO GI | 14/04/2019

Memahami Golput Dalam Kehidupan Sehari-HariKalau saja Megawati mengingat jejak politiknya pada Pemilu 1997, pada jejak digital audio visualnya pada pidato politiknya pada 22 Mei 1997, Megawati memilih Golput dan tidak menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 1997

JOEHOOGI.COM - Betapa dalam kehidupan sehari-hari tanpa disadari atau tidak setiap manusia di mana saja dan kapan saja pasti tidak terlepas dari sikap pilihan Golput. Ironinya, tanpa disadari sebagian dari anak bangsa sendiri sering mendapatkan sikap ambivalen pada diri manusia ketika sudah berhadapan dengan  Golput.

 Apa lagi jika Golput yang berada dalam ranah politik acapkali sering dijadikan sasaran penolakan oleh sebagian orang yang tidak diuntungkan dengan Golput. Padahal mereka menolak  Golput tanpa disadari pasti dalam kehidupan sehari-hari pasti tidak pernah terlepas dari sikap pilihan Golput. 

Ketika kita kebetulan tidak bisa mengendarai mobil, kemudian dihadapkan kepada dua pilihan yang harus dipilih, mana yang harus dipilih mengendarai mobil sedan ataukah mengendarai bus? Sikap pilihan yang harus dipilih ini jika dihadapkan kepada mereka yang bisa mengendarai kendaraan mobil sedan pasti memilih mobil sedan, sedangkan yang bisa mengendarai kendaraan bus boleh jadi akan memilih bus. Lantas bagaimana mereka yang tidak bisa mengendarai mobil sedan maupun bus? Tentunya mereka yang tidak memiliki pilihan termasuk dalam golongan Golput, menolak untuk memilih mobil sedan dan bus.

Ketika kita kebetulan dihadapkan pada dua pilihan yang harus kita pilih, mana yang harus dipilih untuk dimakan buah Pace atau Jengkol? Tentunya bagi mereka yang doyan buah Pace pasti memilih buah Pace. Sedangkan bagi mereka yang doyan buah Jengkol boleh jadi memilih buah Jengkol sebagai pilihan yang harus dimakan. Tapi bagaimana jika mereka yang tidak doyan buah Pace dan Jengkol? Apakah tetap harus dipaksa untuk memilih?

Saya memiliki kawan yang tidak suka menonton pertandingan olah raga apa pun kecuali pertandingan olah raga catur. Ketika dia dihadapkan kepada lima pilihan yang harus dipilih, mana yang harus dia pilih untuk menyaksikan lima pertandingan olah raga: sepak bola, volley, tinju, basket dan billiard. Oleh karena dia hanya suka menyaksikan pertandingan olah raga catur, maka dia memilih untuk tidak memilih di antara lima pilihan yang harus dipilih.

Ketika saya masih sebagai mahasiswa di fakultas hukum, saya memiliki seorang kawan satu fakultas yang mengeluh kepada saya. Betapa pilihannnya masuk sebagai mahasiswa fakultas hukum bukan sikap pilihannya, melainkan sikap pilihan otoriter orangtuanya. Sejujurnya jika dia harus memilih fakultas yang sesuai dengan keinginannya, maka dia akan memilih fakultas seni musik. Oleh karena orangtuanya tidak menghendaki anaknya menjadi seniman musisi dan berharap kelak bisa menjadi seorang advokat, maka dia dipaksa untuk bertindak patuh memilih sesuai keinginan orangtuanya.

Di kantor kecamatan saya pernah berhadapan dengan seorang warga yang mengeluh dan bercerita kepada saya. Dia mengatakan kalau keyakinannya kepada Tuhan Yang Maha Esa tiada lain adalah Kejawen. Tapi ketika dia dihadapkan kepada selembar formulir yang harus dicentang untuk dipilih perihal Agama apa yang dianutnya, maka dia menjadi bingung sebab keyakinan Kejawen tidak dicantumkan dalam formulir . Pada formulir tersebut hanya menekankan 6 Agama yang harus dipilih: Islam, Kriten Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu.

Dulu di era sistem Negara masih Orde Baru, rakyat dihadapkan kepada tiga pilihan partai politik yang harus dipilih. Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Padahal diketahui ke tiga partai politik itu tetap mengusung calon tunggal Suharto sebagai satu-satunya calon Presiden. Bagi warga negara yang menolak Suharto sebagai calon Presidennya tentunya memilih untuk tidak memilih alias Golput.

Acap kali saya sering mendengar himbauan dari berbagai pihak agar sebagai warga negara yang baik dalam menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) ditekankan untuk menggunakan hak pilihnya dan jangan Golput. Padahal sikap Golput sendiri adalah hak pilih untuk tidak memilih. Sesuatu yang bukan kehendak selera pilihannya tentunya logis dan manusiawi untuk tidak memilihnya.

Pidato Megawati pada acara rapat umum PDI Perjuangan di Gedung Olah Raga Pandawa Solo Baru, Sukaharjo, Jawa Tengah, 31 Maret 2019, menuturkan sikap penolakan beliau kepada Golput. Tidak tanggung-tanggung beliau mengatakan kalau Golput itu pengecut, tidak punya pendirian dan tidak punya harga diri. 
 
Kalau saja Megawati mengingat jejak politiknya pada Pemilu 1997 maka ini sama saja Megawati mengolok-olok dirinya sendiri yang pengecut, tidak punya pendirian dan tidak punya harga diri sebab pada jejak digital audio visualnya pada pidato politiknya pada 22 Mei 1997, Megawati memilih Golput dan tidak menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 1997.

Sikap pengecut, tidak punya pendirian dan tidak punya harga diri ketika sikap pilihan politiknya yang seharusnya ke Jokowi-Amin Ma'ruf tapi ketika pada hari pencoblosan justru hak suaranya diberikan kepada Prabowo-Sandiaga atau sebaliknya. 

Lantas bagaimana jika sejak awal sikap pilihan politiknya bukan Jokowi-Amin Ma'ruf dan bukan pula Prabowo-Sandiaga, lantas hak suara apa yang harus diberikan?
 
Tentunya jawaban yang arif dan bijaksana tiada lain jika tidak memiliki selera pilihan dari pilihan yang harus dipilih, maka janganlah memilih kalau memang tidak memiliki selera pilihan yang harus dipilih.

Akhirulkalam, memaksa untuk memilih yang bukan kehendak selera pilihannya tentunya menjerumuskan orang untuk bersikap hipokrit. Sikap yang bijak dalam menjawab persoalan ini tiada lain menempatkan pilihan kepada warga negara yang ingin berselera memilih saja tanpa harus melibatkan warga negara yang tidak mempunyai selera pilihan alias Golput. Setiap insani di negeri ini pasti memiliki selera pilihan yang berbeda-beda termasuk selera pilihan untuk tidak memilih. Wallahu a'lam bish-shawabi.Follow JOE HOO GI







Baca Lainnya

    Artikel Terkait