Radikalisme di Ujung Sebilah Pisau

· | JOE HOO GI | 11/07/2018
Radikalisme Di Ujung Sebilah PisauApakah kita masih menganggap radikalisme ancaman kelangsungan hubungan antar manusia? Apa yang terjadi jika Pelangi tidak memancarkan perpaduan perbedaan warna-warninya yang indah, melainkan terjadinya keseragaman satu warna tertentu, apakah masih bisa disebut sebagai Pelangi?

JOEHOOGI.COM - Tulisan saya ini merujuk dan terinspirasi dari perdebatan antar dua kawan saya yang konon sama-sama sebagai mantan aktivis 1998 yang telah bersilang pendapat perihal radikalisme yang konon semarak terjadi di Indonesia pada kepemimpinan Presiden Jokowi. 

Menurut kawan yang hadir pada acara Rembuk Nasional Aktivis 1998 yang berlangsung pada  tanggal 7 Juli 2018 di Kemayoran Jakarta Pusat telah menempatkan radikalisme sebagai pemicu lahirnya serangkaian aksi kekerasan. Radikalisme dianggap sebagai embrio masif  yang akan melahirkan aksi tindak kekerasan Terorisme di tengah hubungan antar manusia.
 
Di sisi lain seorang kawan yang menolak hadir pada acara Rembuk Nasional Aktivis 1998  keberatan jika menempatkan radikalisme sebagai kambinghitam dari cikal bakal yang dapat melahirkan aksi tindak kekerasan Terorisme
 
Menurutnya mengapa tidak memetik hikmah dari sisi aura positif pada radikalisme? Dalam semangat heroik melakukan perlawanan terhadap sistem tirani yang menindas  harus memiliki militansi bernama radikalisme. Tanpa semangat radikalisme, maka jangan harap rezim otoriter-totaliter seperti Ferdinan Marcos, Idi Amin dan Suharto dan lain sebagainya dapat mudah ditumbangkan begitu saja.

Berdebat tapi berujung tidak menghasilkan titik temu. Ironisnya lagi mereka yang bersilang pendapat memiliki kesepakatan sama-sama menolak aksi tindak kekerasan Terorisme. Mereka hanya bersilang pendapat perihal perspektif dari sosok pemahaman bernama radikalisme. 
 
Kawan yang pro Rembuk Nasional Aktivis 1998 serta merta mengganggap timbulnya serangkaian aksi kekerasan intoleransi  hingga sampai kepada aksi tindak kekerasan Terorisme diakibatkan adanya upaya pembiaran radikalisme sebagai embrio yang menjadi cikal bakal lahirnya aksi tindak kekerasan. Tapi kawan yang menolak Rembuk Nasional Aktivis 1998 justru mencurigai adanya upaya deradikalisasi yang sistematis dan masif yang disupport oleh pemerintah untuk melemahkan kekuatan para oposisinya. 

Berdebat perihal radikalisme menjadikan saya teringat dengan sebilah pisau yang tersimpan di dalam laci dapur saya. Sebilah pisau sebagai alat yang berdiri sendiri akan berbeda makna krusialnya dengan sebilah pisau yang telah diperalat untuk dipakai sebagai alat untuk menciderai atau membunuh pihak lain. Jadi yang menjadi persoalan bukan sebilah pisau sebagai benda mati, melainkan pemakaian dari sebilah pisau sebagai alat untuk menciderai atau membunuh pihak lain yang menjadi biang persoalan.

Jika sebilah pisau itu diperumpamakan sebagai radikal, maka radikalisme tak ubahnya sebilah pisau yang dipakai sebagai alat untuk menciderai dan membunuh pihak lain. Tegasnya, bukan sebilah pisau sebagai benda mati yang menjadi persoalan, melainkan sebilah pisau yang sudah dipekerjakan sebagai alat untuk menciderai dan membunuh pihak lain yang menjadi persoalan krusialnya. 

Bukan radikal yang menjadi akar persoalan, melainkan radikalisme yang telah menggiring radikal untuk memaksakan kehendaknya melalui tindak kekerasan sebagai jalan keluar terhadap pihak-pihak lain yang berbeda pemahaman yang menjadi persoalan krusialnya. 

Setiap manusia pasti memiliki radikal atau prinsip dalam mengolah keyakinannya. Jika keyakinannya merasa terusik, maka dia akan membela keyakinannya yang telah terusik. Jika kemudian keyakinannya sudah menjadi kehendak membabi-buta yang harus dituruti setiap orang, sehingga setiap orang dipaksanya untuk menuruti kehendak keyakinannya, maka di sinilah persoalan krusialnya mengapa radikalisme sangat-sangat berbahaya bagi kelangsungan kehidupan manusia di dunia. 


Setiap manusia memiliki prinsip yang berbeda-beda dan tidak mungkin sama. oleh karena sifat dari prinsip manusia antara satu dengan lainnya tidak akan pernah bisa sama, maka prinsip harus dikelolanya secara internal tanpa harus memaksakan ingin mau menang sendiri.  
 
Radikalisme menganggap prinsipnya yang paling benar di antara semua prinsip yang ada. Mengkondisikan prinsipnya yang paling benar, paling hebat, paling pintar, paling bersih dan paling-paling lainnya di antara prinsip yang lain justru akan melahirkan kecurigaan dan kebencian secara masif. Jika kondisi kecurigaan dan kebencian secara masif ini terus dalam pembiaran dan pemeliharaan, maka lambat laun akan melahirkan kekerasan antar manusia yang berbeda prinsip. 

Kekerasan yang tumbuh dalam pembiaran radikalisme inilah yang menjadi kausalitas dari akar persoalan mengapa radikalisme sangat berbahaya mengancam perdamaian dari kelangsungan hubungan antar manusia. Bayangkan jika ras atau warna kulit tertentu telah diradikalkan menjadi radikalisme ke tengah antar ras manusia yang berbeda-beda, maka radikalisme ras ini akan menjadi fenomenal rasis yang tentunya sangat berbahaya mengancam kelangsungan hubungan antar ras  manusia yang berbeda-beda. 
 
Jika kondisi rasis ini terus dalam pembiaran dan pemeliharaan, maka akan melahirkan kekerasan rasial secara masiv dan sistematis seperti peristiwa Holocaust dalam Perang Dunia II di semua wilayah pendudukan Nazi di Eropa dan penerapan sistem Apartheid oleh Mario Botta di Republic of South Africa pada awal-awal tahun 1990-an.

Sedemikian pula bila prinsip dari keyakinan suatu keyakinan agama didoktrinasikan yang tidak hanya cukup dianggap sebagai dalil yang paling benar di antara semua keyakinan agama yang ada, tapi sudah diterapkan pemaksaan kehendak kepada siapa saja yang bukan menganut prinsip agama yang diyakininya telah dianggap sebagai musuh yang harus diperangi, maka jika radikalisme agama ini terus dalam pembiaran dan pemeliharaan, maka yang terjadi tiada lain serangkaian konflik sosial yang akan melahirkan kekerasan sebagai upaya jalan keluar. Bahkan peliknya lagi jika radikalisme  agama melahirkan aksi Terorisme. 


Saya menolak menyamakan terminologi dari dua keadaan yang saya anggap berbeda. Di satu sisi, suatu keadaan pada masa perjuangan ketika kondisi Negara sudah merdeka dari sistem kekuasaan asing kolonialisme-imperialisme . Di sisi lain, suatu keadaan pada masa perjuangan ketika kondisi Negara masih terjajah oleh sistem kekuasaan asing kolonialisme-imperialisme. 
 
Keadaan pada masa ketika kondisi Negara masih terjajah oleh sistem kekuasaaan asing kolonialisme-imperialisme memang dibutuhkan semangat radikalisme dari para anak bangsanya sendiri sebab targetnya jelas yaitu melawan di luar anak bangsa sendiri. 

Sebaliknya keadaan pada masa ketika kondisi Negara sudah merdeka dari sistem kekuasaan asing kolonialisme-imperialisme sudah tidak tepat lagi dibutuhkan semangat radikalisme sebab Negara sudah berada dalam sistem kekuasaan oleh anak bangsanya sendiri.

Ibarat sebilah pisau akan menjadi sah sebagai alat bantu untuk melukai pihak lain jika berada dalam posisi keselamatan jiwanya yang terancam dan berada dalam kondisi darurat untuk melakukan pembelaan diri. Sebaliknya sebilah pisau akan menjadi tidak sah sebagai alat bantu untuk melukai pihak lain jika tidak berada dalam posisi keselamatan jiwanya yang terancam dan tidak berada dalam kondisi darurat untuk melakukan pembelaan diri.


Lantas apakah kita masih menganggap radikalisme bukan sebagai ancaman kelangsungan hubungan antar manusia? Bayangkan apa yang terjadi jika gejala alam bernama Pelangi mengalami radikalisme, dia tidak lagi memancarkan perpaduan perbedaan warna-warninya yang indah, melainkan terjadinya keseragaman satu warna tertentu, lantas apakah masih bisa disebut sebagai Pelangi? Wallahu a'lam Bhissawab.
Follow JOE HOO GI







Baca Lainnya

    Artikel Terkait