Memahami sang Freudian Sekaligus sang Jokowiophobia Bernama Rocky Gerung

· | JOE HOO GI | 12/04/2018
Memahami Sang Freudian Sekaligus Sang Jokowiophobia Bernama Rocky Gerung Apa yang telah disampaikan oleh sang Jokowiophobia Rocky Gerung perihal pernyataan sikap berpikirnya, saya anggap dia cukup berani sebab telah disampaikan di tengah masyarakat Indonesia yang teistik atau menjunjung tinggi kebenaran dogmatis terhadap dalil-dalil yang ada pada Kitab Suci

JOEHOOGI.COM - Sebagai seorang akademisi pemerhati teori filsafat dan sekaligus terjangkit Jokowiophobia, Rocky Gerung menunjukkan sikap ide pemikirannya tampil berada dalam lingkaran sebagai  Freudian,  menawarkan konsep berpikirnya dalam kajian kritisnya ala Sigmund Freud,  khususnya perihal ide-ide psikoanalisanya yang telah mengkritisi Kitab Suci sebagai kajian tembaknya.

Sigmund Freud adalah sang pioneer psikolog yang melakukan kajian kritis psikoanalisanya pertama di dunia telah menempatkan Agama sebagai sajian ideologis fiksi dogmatis yang tumbuh dari interpretasi ilusi dan imajinasi yang sudah menjadi kesepakatan kolektif, bukan hasil konklusi logis rasional dan jauh dari pembuktian ilmiah.

Pengamatan saya di atas merupakan intisari terhadap peristiwa diseputar gagasan Rocky Gerung yang menempatkan Kitab Suci sebagai karya fiksi yang sudah disampaikan ke ranah publik dalam acara talk show Indonesia Lawyer Club (ILC) pada tanggal 4 april 2018 di TV One. Selanjutnya sajian bukti visual video selengkapnya dapat dilihat di akhir sajian tulisan saya ini. 

Apa yang telah disampaikan oleh Rocky Gerung perihal pernyataan sikap berpikirnya, saya anggap dia cukup berani sebab telah disampaikan di tengah masyarakat Indonesia yang teistik atau  menjunjung tinggi kebenaran dogmatis terhadap dalil-dalil yang ada pada Kitab Suci.

Sesungguhnya pernyataan Rocky Gerung bukanlah tergolong pernyataan yang kontroversial jika pernyataannya itu disampaikan di tengah masyarakat yang ateistik. Tapi akan menjadi pernyataan sensitif kontroversial, jika disampaikan di tengah masyarakat yang teistik di mana telah menganggap Tuhan, Malaikat, Dewa-Dewi, Surga, Neraka, Nabi adalah dalil kebenaran (non fiksi) yang tumbuh dari keyakinan atau iman.

Meskipun Rocky Gerung menempatkan Kitab suci sebagai karya fiksi, yang kemudian diralatnya sebagai bukan karya fiktif, tapi dikotomi perbedaan antara fiksi dan fiktif ini justru menunjukkan sikap inkonsistensi dari pemikiran Rocky Gerung yang cenderung menjadi tidak logis yang kemungkinan diakibatkan oleh sikap kehati-hatiannya betapa pernyataannya bisa berakhir pada kegaduhan yang harus dia terima.

Bagaimanapun antara fiksi dan fiktif adalah dua kata yang memiliki kandungan makna yang sama. perbedaannya hanya terletak pada fiksi sebagai kata kerja, sedangkan fiktif sebagai kata sifat. Dua kata antara fiksi dan fiktif sama halnya dengan kata reaksi dan reaktif, aksi dan aktif, koperasi dan koperatif.

Apa lagi Pancasila sebagai Dasar Negara telah menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa pada Sila pertamanya dan Konstitusi Negara melalui UUD 1945 Pasal 29 (1) menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara. Oleh karena itu jangan salahkan Negara jika menerapkan standard hukumnya kepada para anak bangsanya sendiri yang harus meringkuk dalam penjara oleh karena pernyatan-pernyataan bebasnya yang dianggap sebagai ujaran penodaan terhadap Agama.

Menempatkan Kitab Suci sebagai hasil karya fiksi hanya dapat terjadi di negara-negara yang secara terbuka legal standing menjamin kelangsungan hak kebebasan warga negaranya dari keyakinan atheist. Tapi di Indonesia sikap atheist secara frontal dan terbuka merupakan tindak pidana penodaan Agama.

Jika Negara melalui lembaga penyidik Polri melakukan pembiaran kepada pernyataannya Rocky Gerung yang menempatkan Kitab suci sebagai karya fiksi, maka konsekuensi logis tentunya tidak ada anak bangsanya sendiri yang diproses hukum oleh karena melakukan tindak pidana penodaan agama. Tapi kenyataan yang terjadi Negara tetap memproses delik penodaan agama. Ini artinya pernyataan Rocky Gerung berpotensi memiliki substansi sebagai delik penodaan agama.

Sikap saya pribadi dalam kasus pernyataannya Rocky Gerung, betapa bangsa ini tidak pernah dilatih untuk belajar berdiskusi, berdebat, berpolemik dan berdialog dalam setiap adanya perbedaan pendapat yang muncul dari pemikiran kritis anak bangsanya sendiri. 
 
Apa yang dialami oleh Rocky Gerung sama dengan apa yang dialami oleh puisinya Sukmawati, pidatonya Ahok di kepulauan Seribu, karikatur majalah Tempo dan serentetan kasus yang serupa. Betapa pemikiran yang kritis yang menjadikan munculnya perbedaan pendapat selalu saja terintimidasi oleh kekuatan sistemik struktural atas nama ujaran kebencian dan penodaan agama. Seolah-olah peran agama tidak dapat menjawab perbedaan pendapat yang muncul dari pemikiran kritis anak bangsanya sendiri.
Follow JOE HOO GI








Baca Lainnya

    Artikel Terkait