Pengusaha Mafia Versus Permendag: Biang Kelangkaan Minyak Goreng

· | JOE HOO GI | 18/03/2022
Pengusaha Mafia Versus Permendag: Biang Kelangkaan Minyak GorengKelangkaan minyak goreng akan semakin menjadi-jadi jika Pemerintah tetap ngotot bersikukuh memihak kepada kebutuhan rakyatnya sebagai konsumen melalui HET dari Permendag yang ditetapkannya

JOEHOOGI.COM - Minyak goreng tidak akan mengalami kelangkaan di negeri yang sumber daya kelapa sawitnya berlimpah-limpah ruah seperti di Indonesia jika tidak ada kausalitas dari peristiwa yang melatarbelakangi terjadinya kelangkaan minyak goreng. Kausalitas dari peristiwa apakah yang melatarbelakangi terjadinya minyak goreng mendadak serempak lenyap dari pasaran? 

Ketika secara serempak para produsen minyak goreng dalam negeri ngambek hingga sampai beresiko mogok tidak mau menjual produknya ke pasaran konsumen dalam negeri tentunya peristiwa mogok ini adalah akibat yang disebabkan oleh diterbitkannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06 Tahun 2022 yang menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) Minyak Goreng Sawit.

Regulasi penetapan HET berdasarkan Permendag ini meskipun dirasakan sebagai regulasi yang memihak kepada kebutuhan rakyat sebagai konsumen tapi sebaliknya oleh produsen minyak goreng dianggapnya sebagai regulasi yang tidak akan memberikan keuntungan yang berarti kepada  para pengusaha minyak goreng.

Kalau kondisi kepentingannya mengalami crash seperti ini maka resiko final yang diambil pengusaha minyak goreng adalah memberhentikan distribusi minyak gorengnya ke pasaran khayalak dalam negeri.. Konsekuensi jika distribusi minyak goreng distop, maka resiko pelik yang akan diterima oleh para konsumen tiada lain tidak adanya stock penjualan lagi untuk minyak goreng.

Kelangkaan minyak goreng akan semakin menjadi-jadi jika Pemerintah tetap ngotot bersikukuh memihak kepada kebutuhan rakyatnya sebagai konsumen melalui HET dari Permendag yang ditetapkannya. 

Tapi sebaliknya jika Mendag merevisi HET yang awalnya sudah menjadi ketetapannya, maka dapat dipastikan kondisinya akan menjadi normal kembali sebab supplier minyak goreng berlimpah ruah siap mendistribusikan ke semua pasaran dalam negeri tanpa terkecuali. 

Inilah kondisi pilihan yang serba crash hasilnya. Di satu sisi Pemerintah bermaksud mensubsidi kebutuhan rakyatnya sebagai konsumen tapi konsekuensi yang diterima tidak ada stock penjualan minyak goreng dipasaran. Di sisi lain kalau subsidi dicabut maka tidak ada lagi kelangkaan minyak goreng tapi konsekuensinya beban daya beli masyarakat sebagai konsumen akan semakin bertambah berat.

Jadi pilihan buah simalakama manakah yang harus dipilih? Apakah memilih untuk tetap mensubsidi kebutuhan rakyat untuk mendapatkan minyak goreng yang murah dengan resiko tidak adanya stock penjualan minyak goreng kosong di pasaran? Ataukah menjatuhkan pilihan stop subsidi dengan resiko beban pengeluaran masyarakat sebagai konsumen akan semakin bertambah? 

Betapa sektor swasta lah yang selama ini menguasai industri minyak goreng sawit dalam negeri. Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa ada beberapa pengusaha yang sepenuhnya sebagai pemegang kendali atas keuntungan yang berlimpah ruah dalam pengelolaan minyak goreng sawit dalam negeri seperti Salim Group (Anthony Salim), Musim Mas Group (Bachtiar Karim), Sinar Mas Group (Eka Tjipta Widjaya), Wilmar Group (Martua Sitorus) dan Royal Golden Eagle International Group (Sukanto Tanoto)

Pilihan smart sebagai solusi final jika minyak goreng tidak menjadi buah simalakama, mengingat minyak goreng termasuk sembilan jenis kebutuhan pokok masyarakat yang paling krusial, maka ada dua solusi yang dapat diambil Negara untuk mengahiri kepelikan dan kegaduhan di seputar persoalan minyak goreng sawit. 

Solusi pertama, Negara wajib menjalankan kebijakan regulasinya kepada produsen industri  minyak goreng sawit untuk selalu memenuhi kebutuhan stock minyak goreng sawit kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Jika kebutuhan mendasar di dalam negeri ini terpenuhi, maka barulah Negara dapat mengeluarkan perijinan kepada produsen industri minyak goreng sawit untuk melakukan kegiatan eksportirnya. 

Solusi kedua, sudah saatnya Negara berada di garda depan untuk menempatkan bidang minyak goreng ke dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN) agar kedepannya tidak akan terjadi lagi keresahan dan kegaduhan di tengah masyarakat akibat kelangkaan dan meroketnya harga minyak goreng. 

Sementara peranan Negara dalam industri minyak goreng sawit hanya dilibatkan sepenuhnya dalam pendapatan pajak eksportir. Ketika regulasi Negara hadir melalui HET yang lebih memihak kebutuhan rakyatnya sebagai konsumen, maka yang terjadi minyak goreng secara serentak dan serempak lenyap di semua lini pasaran. Tapi sebaliknya ketika HET dibatalkan, maka yang terjadi stock penjualan minyak goreng secara serentak dan serempak kembali di semua lini pasaran.
Follow JOE HOO GI







Baca Lainnya

    Artikel Terkait