Reuni 212 Antara Paranoid dan Antisipasi

· | JOE HOO GI | 23/11/2018
Reuni 212 Antara Paranoid dan AntisipasiKondisi menjelang Pipres 2019, berbagai ujaran kebencian terhadap perbedaan anak bangsa dan merebaknya berita kebohongan di media sosial media dan dakwah berpotensi memecah belah kesatuan antar anak bangsa telah melengkapi warna sistem percaturan politik di Indonesia masa kini

JOEHOOGI.COM - Tidak ada yang perlu ditakutkan dari aksi Reuni 212 yang telah melibatkan kekuatan massa yang massif, kecuali Negara dan sebagian komponen bangsa yang lain hanya mengantisipasi dari segala kemungkinan yang buruk agar kebebasan berkumpul menyampaikan pendapat di depan umum yang melibatkan mobilization of large mass forces tidak terprovokasi untuk mengulangi kembali event of bloody social conflict yang beberapa kali pernah mengguncang sejarah sistem percaturan perpolitikan nasional.

Antisipasi yang tumbuh dari kekawatiran ini bukanlah bersifat paranoid yang berlebihan, mengingat dalam sejarah percaturan politik Indonesia beberapa kali pernah terjadi adanya event of bloody social conflict yang nyaris berujung mengancam kepada stabilitas persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

Apa lagi antisipasi yang tumbuh dari kekawatiran ini ternyata juga dirasakan dan diberlakukan secara universal betapa tidak ada dari semua Negara di dunia ini tanpa terkecuali menghendaki terjadinya krisis event of bloody social conflict.

Jika Indonesia dan negara-negara di dunia tidak pernah memiliki empiris buruk berupa event of bloody social conflict, maka sudah dapat dipastikan kalau antisipasi yang tumbuh dari kekawatiran oleh Negara dan sebagian dari komponen bangsa ini tidak akan pernah terjadi. 

Tapi oleh karena Indonesia acap kali pernah mengalami berbagai peristiwa yang menggambarkan adanya insiden dari event of bloody social conflict, maka logis jika berbagai aneka bentuk antisipasi yang tumbuh dari kekawatiran telah diberlakukan. 

Antipasi yang tumbuh dari kekawatiran ini bisa berupa pengerahan personil aparat keamanan secara massif, tidak adanya media jurnalistik yang meliput dan sebagainya.

Jika event of bloody social conflict bergerak secara measurable, systematic dan massive, sehingga Negara tidak dapat lagi membendungnya, maka di sinilah the end of a state. Tentunya antisipasi yang tumbuh dari kekawatiran ini oleh berbagai pihak dianggapnya sebagai alasan yang paranoid. 

Mau paranoid atau tidak, tapi yang jelas sudah delapan tahun berjalan tidak ada kekuatan pun yang dapat mengembalikan peradaban Suriah sebagai suatu Negara, kecuali semakin terperosoknya Suriah ke jurang kebinasaan sebagai sebuah Negara akibat dari event of bloody social conflict yang sulit untuk didamaikan kembali.

Berakhirnya Suriah sebagai suatu State akibat dari Negara telah melakukan ekstra pembiaran dan tidak mengantisipasi segala kemungkinan terburuk lainnya dari jalannya aksi kebebasan berkumpul menyampaikan pendapat di depan umum yang melibatkan mobilization of large mass forces sehingga berujung melahirkan event of bloody social conflict di sana-sini, telah menjadikan Suriah sebagai case study reference oleh berbagai Negara di dunia betapa dibutuhkan extra anticipation dari ekses kemungkinan terburuk lainnya akibat dari aksi kebebasan berkumpul menyampaikan pendapat di depan umum yang melibatkan mobilization of large mass forces.

Apa lagi Indonesia sebagai Negeri yang multicultural sangat rentan dengan political conflict of interest sebab perbedaan yang tumbuh dari keragaman suku, agama, ras dan antargolongan sangat berpotensi untuk disulut dan dibenturkan menjadi event of bloody social conflict. Empirisnya secara sporadis sudah terbukti pada konflik sosial yang melibatkan perbedaan antara suku, agama, ras dan antargolongan, seperti tragedi berdarah di Jakarta (1998), Ambon (1999), Poso (2000), Sampit (2001), Cikeusik (2011) dan sebagainya.

Terlebih-lebih kondisi sekarang menjelang Pipres 2019, berbagai ujaran kebencian terhadap perbedaan anak bangsa sendiri dan merebaknya berita kebohongan di media sosial media dan dakwah yang berpotensi memecah belah kesatuan antar anak bangsa sendiri telah melengkapi warna sistem percaturan politik di Indonesia masa kini. 

Kondisi inilah yang membuat reference mengapa Negara dan sebagian komponen bangsa lainnya harus melakukan ekstra antisipasinya terhadap event Reuni 212 dalam menjalankan hak kebebasan berkumpul menyampaikan pendapatnya di depan umum yang melibatkan mobilization of large mass forces. 

Antipasi yang dilakukan oleh Negara melalui pengerahan aparat kepolisian dari segala penjuru di Jakarta ketika berlangsungnya event Reuni 212 yang melibatkan mobilization of large mass forces bukanlah tindakan paranoid Negara, melainkan Negara melalui aparat kepolisiannya hanya sekedar mengantisipasi yang tak ubahnya sedia payung sebelum hujan. 

Akhirulkalam, berjaga-jaga dari segala kemungkinan munculnya event of bloody social conflict yang selama ini telah menjadi kekawatiran dari berbagai banyak pihak, meskipun dari awal hingga berakhirnya acara Reuni 212 ternyata hujan pun tidak juga turun.
Follow JOE HOO GI








Baca Lainnya

    Artikel Terkait