
Joe:
Dulu saya salah satu dari sekian juta pengagum Bunda ketika Bunda hadir sebagai social activist National League for Democracy (NLD). Masih selalu teringat dalam pikiran saya, betapa selama 15 tahun dalam pengasingan tahanan rumah, Bunda masih dapat memobilisasi massa dan menggelorakan semangat perjuangan pantang menyerah demi Pembebasan tegaknya Demokrasi dari kekuasaan rezim junta militer Myanmar.
Support semangat Bunda kepada sistem demokrasi sikap perlawanan Bunda kepada rezim junta militer inilah yang telah banyak memberikan aspirasi perjuangan kami para aktivis Indonesia saat itu untuk dapat terbebas dari rezim militer Orde Baru.
Perlu Bunda ketahui saja betapa sebagian dari buku yang Bunda tulis, salah satunya berjudul:The Voice of Hope: Conversations with Alan Clements yang terbit di tahun 2008 telah melengkapi kesempurnaan Bunda sebagai icon heroisme pembebasan terhadap rakyat tertindas oleh sistemik rezim otoriter.
Tapi dengan perkembangan waktu setelah Myanmar mengalami proses transisi reformasi, terlebih setelah Bunda duduk di kabinet pemerintahan sebagai Konselor Negara, belakangan yang saya dengar, lihat dan baca dari berita kalau Bunda tidak dapat merawat kemanusiaan dan kebhinnekaan. Bunda telah melakukan pembiaran terhadap penindasan pada kaum sipil Rohingya.
Aung San Suu Kyi:
Kondisi dari penolakan Bangladesh membuat kaum Rohingya harus tinggal di antara perbatasan dua negara Bangladesh dan Myanmar. Mereka memilih tinggal di wilayah negara bagian Rakhine yang masih merupakan tanah kedaulatan Myanmar. Dalam perkembangan waktu dari tahun 1872 sampai 1911 mereka mengalami pertumbuhan populasi dari 58.255 menjadi 178.647. Dalam catatan sensus penduduk tercatat pertumbuhan populasi mereka sejak tahun 2013 menjadi 1,3 juta orang.
Ketika terjadinya sistem peralihan ke rezim junta militer yang dipimpin Jenderal Ne Win telah memberlakukan Undang-Undang Kewarganegaraan mencabut kewarganegaraan Rohingya untuk kembali menjadi Warga Negara Myanmar. Alasannya wilayah Rakhine adalah tanah kedaulatan Myanmar bukan sebagai tanah yang diklaim bagian dari kedaulatan Rakhine.
Dari kerangka penyebab inilah awal dimulainya konflik berdarah antara milisi bersenjata Rohingya versus kekuatan militer Myanmar. Konflik berdarah ini tidak akan pernah terjadi jika masyarakat Rohingya bersedia mengakui wilayah Rakhine bagian dari kedaulatan Myanmar.
Oleh karena mereka menolak sebagai warga negara Myanmar, maka kekuatan milisi perlawanan dianggap sebagai pemberontakan separatis. Konflik berdarah antara pasukan milisi separatis Arakan Rohingya Salvation Army disingkat ARSA versus militer Myanmar telah menyebabkan eksodus pengungsian kaum sipil Rohingya keluar dari tanah konflik Rakhine.
Kalau kenyataannya seperti ini bisa dikatakan Myanmar melakukan invasi terhadap Rakhine. Sehingga jangan salahkan jika bangsa Rohingya membentuk milisi karena mereka menganggap perlawanan mereka bagian dari perjuangan merebut kemerdekaan dari tangan invasi Myanmar. Kecuali lagi kalau sejak awal Rakhine bagian dari Myanmar, maka sah jika aksi milisi dianggap sebagai separatisme.
Pembiaran eksodus pengungsian dari Bangladesh ke Rakhine hanya dalam rangka misi kemanusiaan, di mana Rakhine hanyalah tempat penampungan sementara. Tapi dari next time -nya, kami menyadari betapa mereka memang tidak memiliki negeri tumpah darah, kecuali tanah penampungan sebagai tempat tinggal secara turun temurun.
Oleh karena itu kami berjuang agar status kewarganegaraan mereka bersedia sebagai Warga Negara Myanmar sehingga mereka dapat memiliki hak-haknya sebagai warga negara. Tapi kondisi yang terjadi justru sebaliknya, mereka tetap bertahan sebagai Warga Negara Rakhine. Ini artinya mereka ingin merebut Rakhine dari wilayah kedaulatan kami.
Jika mereka sudah memberontak membentuk milisi separatis bersenjata, apa kami sebagai Negara harus berdiam diri? Coba Saudara beritahu kepada saya satu contoh saja Negara manakah di dunia ini yang mau membiarkan pemberontakan separatisme terjadi di negeranya?
Repotnya lagi para milisi ARSA melakukan serangkaian perlawanan melalui baku tembak berada di pemukiaman penduduk, sehingga yang terjadi peluru nyasar mengenai penduduk sipil.Kalau sudah begini apakah kami yang harus memikul tanggungjawab?
Bagaimana dengan pemberontakan oleh para milisi separatis yang senjata apinya dipasok dari organisasi teroris Taliban? Kami harus bagaimana, membiarkan dalam kehancuran? Marilah studi kasus kepada kondisi di Indonesia. Apakah pemerintah Indonesia akan berdiam diri jika terjadi pemberontakan separatis bersenjata seperti yang dilakukan oleh milisi Gerakan Aceh Merdeka dan Organisasi Papua Merdeka? Berapa banyak korban warga sipil berjatuhan pada operasi militer tersebut?
PBB sendiri mengeluarkan kecaman kepada Erdogan selaku Presiden Turki yang telah melakukan pembiaran terhadap pembantaian warga sipil Kurdi. Bahkan gambar-gambar hoax yang diumbar oleh Mehmet Simsek, Perdana Menteri Turki, juga turut memperkeruh suasana. Bayangkan files photo korban bencana alam seperti korban badai angin topan di Nagris, korban gempa bumi di Tibet, korban banjir dasyat di Nepal korban konflik GAM di Aceh telah dilebaykan, didramatisir, dimasak dan dipelintir yang seolah-olah insiden kejadian itu berlangsung di Rakhine.
Jika masyarakat internasional mengutuk tapi buktinya tak satu pun negara di ASEAN yang bersedia menerima kehadiran mereka sebagai pengungsi kecuali Indonesia. Off the records saja, misal di tanah Rakhine tidak ada kandungan sumber daya alam berupa bahan bakar gas, maka saya jamin masyarakat internasional tidak akan mengeluarkan statement kecaman.
Krisis kemanusiaan juga terjadi ketika sistem peralihan dari rezim Orde Baru ke Reformasi 1998, yang menurut data di TGPF tercatat ada 1217 korban jiwa tewas terpanggang api 92 korban dari perempuan WNI keturunan Tionghoa di Jakarta yang diperkosa secara massal dibunuh setelah diperkosa secara sistematis dan masif.
Krisis kemanusiaan juga mewarnai kasus penculikan aktivis yang disertai pelenyapan sebagaimana yang dialami oleh Wiji Thukul yang sudah 20 tahun hilang terculik tiada pernah untuk kembali lagi, jika memang Wiji Thukul sudah meninggal dunia lantas di mana jasadnya terkubur?
Perlu dicatat betapa pemerintah Myanmar sudah banyak melakukan serangkaian pencegahan persekusi amuk massa agar tidak terjadi, tapi yang harus diberi catatan betapa di wilayah Rakhine pada sensus tahun 2014 populasi para penganut agama Buddha mencapai 96,2%, penganut Kristen 1,8% penganut muslim hanya 1,4%.
Jika wilayah Rakhine yang diklaim sebagai tanah air tumpah darah warga sipil etnis muslim Rohingya, maka seharusnya warga sipil muslim etnis Rohingya yang menjadi mayoritas di Rakhine, tapi kenyataannya warga sipil muslim etnis Rohingya hanya minoritas. Jika minoritas lantas mengapa harus angkat senjata bikin milisi separatis segala?
Aung San Suu Kyi:
Perlu saya tegaskan saya bukan penganut Buddha. Saya juga termasuk minoritas sama dengan etnis Rohingya yang minoritas juga. Bedanya saya beragama Katholik, sedangkan etnis Rohingya menganut agama Islam. Meski demikian Islam dan Katholik adalah sama-sama sebagai agama minoritas di Myanmar. (Joe Hoo Gi)
JOE HOO GI

Peringatan Sebelum Berkomentar:
Komentar yang mengarah ketindakan spam atau tidak berkaitan dengan isi artikel tidak akan dipublikasikan.
EmoticonEmoticon