
Ketika saya masih mahasiswa angkatan 1987 di Universitas Janabadra Yogyakarta, tempat kediaman kost pertama saya tiada lain di kampung Badran. Mengapa saya memilih kampung Badran? Karena lokasinya tidak jauh dari kampus saya, cukup di tempuh dengan jalan kaki sekitar kurang lebih delapan puluh delapan ayunan langkah kaki jika saya tak salah menghitung jarak dari kediaman kost saya hingga ke tempat kampus saya.
Di Badran inilah saya banyak kenal dengan masyarakat pribumi setempat. Maklum saya paling suka blusukan dan kalau sudah blusukan lagi-lagi saya tidak mau memilih-milih kasta dan strata, apa lagi saya tertarik dengan kesederhanaan dan kerja keras mereka yang pantang menyerah meski tanpa skill, kapital dan ijazah sekolah. Bekerja apa saja dicapainya agar kebutuhan hidup tidak lekas redup dari melakoni menjadi penyemir sepatu, bandar dadu atau ciliwik di pinggiran lokalisasi, jual gorengan keliling kampung, copet di stasiun Tugu, mengemis, tukang becak, pembantu rumah tangga, melacur, maling, pemalak dan seterusnya.
Bukan menjadi rahasia publik pada waktu itu, jika Badran dikenal sebagai wilayah underground atau tempat tinggal kaum kusam, kaum marginal, kaum miskin kota. Bagi masyarakat yang ada di luar kehidupan marginal mungkin menganggap Badran sebagai kampung yang tidak nyaman buat kaum establishment sehingga secepatnya bisa pindah mencari kampung lain yang memiliki adat istiadat yang bisa diterima oleh kalangan establishment perkotaan.
Tapi sebaliknya bagi mereka yang ingin merasa dekat dengan wong cilik termasuk segala kostum dan atribut kesederhanaannya yang berhubungan dengan pangan, papan, sandang, pendidikan, methode berpikir dan pekerjaan cukup dipasrahkan kepada kehidupan yang serba mengalir. Konkretnya, Badran lah yang telah menempa saya tentang kemajemukan strata sosial yang ada.
Enam tahun saya bertahan untuk tinggal sebagai anak kost di Badran. Selama enam tahun itulah saya memiliki banyak kawan di kampung Badran. Tapi di antara semua kawan itu, saya merasa kental bersahabat dengan seorang pemuda kampung yang bernama Gunawan yang acap dipanggil dengan sebutan Gun, tapi ada juga yang memanggilnya dengan sebutan Jack sebagai plesetan nama Joko.
Hubungan saya dengan Gunawan hanya sebagai kawan berdiskusi sebab kalau sudah bertemu selalu bawaannya mau berdiskusi. Berdiskusi apa saja tentang paradigma Islam beserta variannya, lintas agama, kiprah peran Suharto dalam rezim otoriternya, filsafat Marx dan sebagainya. Ngalor-ngidul berdebat yang ujung-ujungnya tak terasa kami sudah menghabiskan beberapa gelas kopi dan puluhan batang rokok kretek. Kalau sudah berdiskusi bawaannya pasti lupa waktu, berdebat semalam suntuk. Mengapa kami tahan dalam berdiskusi? Selain karena kami suka bertukar pikiran, tentunya aroma nikotin rokok dan segelas jumbo kopi panas yang putus nyambung telah membuat kami bertahan untuk sampai lupa waktu.
Selain sebagai kawan diskusi, saya dan Gunawan punya bakat yang sama yaitu bermain catur. Kalau sudah bertanding catur, maka segalanya akan menjadi lupa. Ya, lupa makan. Ya, lupa mandi dan lupa-lupa lainnya. Uniknya kalau merokok dan menyeduh kopi tiada pernah ada kata lupa. Masih kuingat dulu Gunawan suka rokok dengan merk berinisial DF, sedangkan saya suka rokok dengan merk berinisial GGF. Tapi kalau pas tidak ada duit ya tabiat mulut asbak tetap berlaku. Apa pun merk rokoknya tidak pernah menolak jika sudah tanggung bulan. Sehari kami bisa menghabiskan tiga sampai lima bungkus rokok. Maklum saat itu rokok masih sangat-sangat murah.
Enam tahun saya bergaul dengan Gunawan, meskipun tampak kami mesra bersahabat, tapi saya tidak mau tahu apa pekerjaannya dan pendidikannya. Tapi menurut beberapa kawan kuliah saya kalau Gunawan itu mahasiswa angkatan tua Fakultas Hukum Universitas Janabadra.
Begitulah yang terjadi hanya cukup berkawan baik tanpa terlalu dipusingkan dengan primordial dan latar belakangnya. Begitulah enam tahun saya berkawan dengan seorang pemuda kampung Badran yang disegani di sana-sini tapi saya tidak pernah tahu mengapa dia disegani di sana-sini. Selain faktor keluguanku yang menjadi kendala sehingga saya tidak pernah menanyakan kepadanya perihal pekerjaan dan pendidikannya, dan juga faktor kebiasaan saya bilamana siapa saja orang yang sudah merasa baik berkawan dengan saya maka persetan dengan segala perihal yang melekat pada latar belakangnya.
Tapi semenjak saya pindah kost meninggalkan kampung Badran, maka saat itulah saya jarang bergaul dengan Gunawan. Faktor kesibukan saya sebagai mahasiswa dan aktivis waktu itu telah membuat jarak hubungan persahabatanku dengannya. Demikian pula, Gunawan juga intens sebagai aktivis di Partai Persatuan Pembangunan.Tapi ketika saya diwisuda untuk mengakhiri karierku sebagai mahasiswa bongkokan di kampus, saya masih dapat bertemu dengannya meski tidak lebih dari 30 menit saja.
Dari perkembangan waktu selama berpuluh-puluh tahun saya tidak tahu jika ternyata kawan baik saya itu adalah Gun Jack yang banyak diberitakan banyak orang. Antara percaya dan tidak percaya saya sempatkan untuk mampir ke Badran untuk bisa bertemu dengan Gunawan. Tapi betapa sulitnya saya bisa bertemu dengannya. Bolak-balik pun tidak pernah bertemu. Hingga mendapat kabar jika dia sudah meninggalkan segala-galanya di dunia ini.Tidak ada pesan apa-apa kecuali kenangan yang kutulis lewat catatan harianku ini.
Selamat jalan Gunawan, eh Gun Jack. (Joe Hoo Gi)
JOE HOO GI

Melalui sajian kolom komentar di bawah sampaikan kepada kami komentar kritik, saran dan pertanyaan Anda yang berkaitan dengan artikel: Mengenang Sosok Sahabatku, Gun Jack
Peringatan Sebelum Berkomentar:
Komentar yang mengarah ketindakan spam atau tidak berkaitan dengan isi artikel tidak akan dipublikasikan.
EmoticonEmoticon